Pandawa Samrat
Alkisah, setelah Pandawa berhasil membuka hutan Wanamarta dan berhasil mendirikan negara Amarta atau Indraprastha. Sebagai tanda syukur lepada Tuhan mereka menyelenggarakan sesaji Raja Suya. Yaitu statu selamatan yang harus dihadiri 100 raja. Pada saat yang sama Jarasanda juga mengadakan upacara, sesaji ludra. Sesaji itu ditujukan pada Bethara Kala. Namun sesaji itu sesat. Karena yang harus dipersembahan kepada Bethara Kala adalah berupa bekakak panggang dari 100 raja.Jarasanda dari Magada sudah berhasil mengalahkan dan menangkap 97 raja untuk dijadikan persembahan. Sehingga hanya tinggal 3 raja lagi yang masih perlu ditaklukkan. Yaitu raja Dwarawati Sri Kresna, raja Madura Sri Baladewa, dan raja Amarta pura Puntodewa. Tentu saja ketiganya melawan. Mereka menyamar menjadi Brahmana, masuk ke istana Jalatanda lewat pintu belakang. Jarasanda dinasihati ketika Pendawa itu, namun menolak. Terjadilah perang antara Pendawa dan Jarasanda. Jarasanda berhasil dibunuh oleh Bima.
Sehingga ke sembilan puluh tujuh raja yang ditawan dapat dibebaskan . Mereka dijadikan Sumitra kerajaan Pendawa. Suatu ketika diadakanlah Pandawa Samrat di kerajaan Indraprasta. Pandawa Samrat adalah pertemuan pengangkatan Pandawa menjadi pemimpin di kerajaan-kerajaan yang ada di sekitarnya. Pada pertemuan itu, pihak Pandawa sebagai tuan rumah meminta Resi Bisma yang tertua di antara hadirin sebagai juru bicara merangkap sebagai ketua upacara. Tapi Bisma sendiri sebagai resi melimpahkannya kepada Sri Kresna. Bisma tahu, Kresna adalah titisan Wisnu. Tentu kebijaksanaannya melebihi seorang resi. Pendapat Bisma ini didukung oleh Baladewa, Drupada, dan Widura yang juga mengetahui tenang diri Kresna.
Akhirnya semua undangan mendukung Kresna memegang jabatan sebagai ketua upacara. Tiba-tiba Supala bangkit berdiri dan berbicara dengan suara lantang, “Saya tidak setuju! Dia masih muda. Banyak yang lebih pintar bicara dan lebih terhormat di sini.” Supala memberi alasan seperti itu untuk menutupi bahwa sebenarnya ia mendendam pada Sri Kresna. “Supala, aneh kedengarannya. Ingat, suara terbanyak memilih Sri Kresna menjadi ketua,” kata Resi Bisma. “Pokoknya saya tidak setuju. Saya juga tahu bahwa rajasuya ini pun merupakan rencana Kresna …,” kata Supala lagi. “supala, kamu bicara seenaknya. Kalau tidak setuju, boleh keluar. Pergi sebelum kupatahkan lehermu!” “Saya bebas mengeluarkan pendapat. Saya tidak ingin Kresna menjadi ketua pertemuan,” bantah Supala.
Akhirnya Kresna bangkit berdiri dan berkata dengan suara yang dalam, “Supala, kau telah menghinaku di depan umum.” “Memang. Bahkan lebih banyak, lebih baik bagiku….” Balas Supala. “Penghinaanmu itu harus kau pertanggungjawabkan. Kita sama-sama ksatria.” “Aku tak akan undur Kresna. Aku siap menanggung apa yang kuucapkan.” Baladewa terkejut mendengar kata-kata Supala. Ia teringat akan sumpah Kresna waktu masih muda di hadapan orang tua Supala. “Baik Supala, mari kita keluar untuk menyelesaikan secara ksatria,” kata Kresna. “Aku ladeni. Akan kutunjukkan Supala tak takut pada Sri Kresna yang terkenal digjaya.”
Kedua ksatria ini sebetulnya masih saudara misan. Tapi Supala bukan tandingan Kresna. Semua kesaktian Supala luluh dihadapan Kresna , tetapi Supala tetap keras kepala. Ia tetap melawan secara nekad walaupun sudah jungkir balik. Akhirnya Supala tewas di tangan Kresna.
Begitulah takdir yang sudah diduga Baladewa bahwa Supala akan mati di tangan seorang titisan Wisnu, yang sekaligus juga sebagai orang yang menyembuhkannya dari cacat lahirnya saat ia masih sangat muda.
tancep kayon.
Artikel ini diambil dari http://wayang.wordpress.com/2010/07/20/pandawa-samrat-2/