Perjalanan Cinta Arimbi dan Bima: Bima Bothok
Rara Winihan tidak mau membuang waktu, setelah mohon diri, Kunthi, Puntadewa, Bimasena, Harjuna dan sikembar Nakula, Sadewa ditinggalkannya. Ia menemui Resi Hijrapa diruang dalam. Sebelum Rara Winihan masuk, Rawan mendahului keluar menyambut dengan wajah berseri-seri. Bocah remaja itu mengalami sukacita didatangi Ibu Lurah dan Bapak Lurah yang sangat ia kagumi. Apalagi di hari-hari terakhir sebelum ia dikorbankan, kehadiran seseorang yang menjadi idola dapat menjadi kekuatan dan penghiburan.
“Bapa Resi, dua bebahu desa yang kami utus menghadap Bapa Resi melaporkan bahwa Bapa Resi tetap akan mengorbankan Rawan, tidak adakah jalan lain?
“Kami tidak menemukan jalan lain. Kecuali jika kami menolak. Dan itu fatal akibatnya, seluruh keluargaku akan ditumpas.”
“Apakah tidak meminta tolong”
“Orang yang mau menolong kami artinya ia mau menjadi silih korban anakku. Saya tidak percaya bahwa ada orang yang bersedia menolong kami dengan berani menggantikan anakku menjadi santapan Prabu Dwaka.”
“Bapa Resi, tahukah Bapa Resi siapakah sesungguhnya seorang janda beserta ke
“Ibu Lurah, hatiku gelap dan pikiranku kalut sehingga tidak pernah menanyakan siapakah mereka sesungguhnya.”
“Bapa Resi, merekalah yang akan menjadi dewa penolong, jika Bapa mau menemuinya untuk memohon pertolongan.”
“Ibu Lurah, siapakah sesungguhnya mereka?”
“Mereka adalah Ibu Kunthi dan Pandhawa Lima”
“Benarkah Ibu Lurah?
Rara Winihan mengganguk mantap. Pernyataan Rara Winihan bagaikan matahari yang tiba-tiba muncul memecah mendung kelabu. Wajah Resi Hijrapa berseri. Secercah harapan baru menyembul dari sanubarinya. Dengan tergopoh-gopoh, Resi Hijrapa berjalan menuju ruang depan, tempat Kunthi dan anak-anaknya menumpang. Rara Winihan, Lurah Sagotra dan Raden Rawan mengikutinya.
Sesampainya di depan Kunthi, Resi Hijrapa bersimpuh dan menghaturkan sembah di depan kaki Kunthi, untuk memohon pertolongan.
“Ibu Prameswari maafkan hamba si tua bangka yang bodoh ini, jauhkan dari tulah sarik, dari kutuk dan dari hukuman, karena kesalahan hamba. Hamba telah memperlakukan Ibu Prameswari dan para pewaris tahta Hastinapura dengan sangat tidak layak.”
“Bapa Resi janganlah merendahkan dan menghinakan dirimu sendiri, duduklah, dan bicaralah dengan wajar, katakanlah apa yang engkau inginkan dari kami.”
“Dhuh Ibu Prameswari, ampunilah kesalahanku, karena penyambutanku di rumah ini tidak sesuai denga kedudukan Sang Ibu Kunthi beserta para putra.”
“Sudahlah Bapa Resi. Bapa Resi tidak bersalah. Kamilah yang telah merepotkan Bapa resi dan keluarga. Tetapi bukankah ada sesuatu yang lebih penting dari semuanya itu. katakanlah Bapa Resi”
Karena kehalusan budi dan kerendah hati dan belas-kasih Sang Ibu Kunthi, Resi Hijrapa memberanikan diri untuk menceritakan masalah berat yang dihadapi oleh keluarganya dan kemudian memohon pertologannya. Dewi Kunthi yang sudah mendengar dan mengetahui semuanya, bahkan sudah berembug masalah ini dengan Bima anaknya, menyarankan kepada Resi Hijrapa agar langsung meminta bantuan kepada anaknya yang nomor dua yang bernama Bimasena. Karena dialah orangnya yang tepat untuk melakukan pertolongan ini.
Bima adalah sosok yang sederhana dan jujur, ia selalu siap memberikan pertolongan kepada siapapun yang membutuhkan, apalagi jika yang bersangkutan datang memohon langsung kepada dirinya, maka akan semakin mantaplah ia melakukan pertolongan. Ketika ditemui Resi Hijrapa, Bima bersedia dikorbankan sebagai ganti Rawan anaknya. Resi Hijrapa sangat lega, terbebas dari beban berat yang menindihnya.
Sesaat setelah Bima menyanggupkan diri menjadi sesaji yang akan dipersembahkan kepada Prabu Dwaka, datang serombongan perajurit Ekacakra dengan jumlah yang lebih banyak dari jumlah perajurit yang kemarin lusa mencegat para pengungsi. Mereka melacak keberadaan seorang tinggi perkasa yang telah menolong para pengungsi dan mengalahkannya. Ketika kemudian mereka menemukan orang yang dimaksud yaitu Bima di rumah Resi Hijrapa, maka kemudian mereka datang dengan maksud menawan Bima. Bima dengan dibantu oleh Harjuna bermaksud melawannya.
Namun sebelum peperangan terjadi Lurah Sagotrra didampingi Rara Winihan menyerukan kepada pemimpin perajurit Ekacakra, agar mau bersabar. Kecerdasan Rara Winihan berhasil mempengaruhui pimpinan perajurit untuk membatalkan niatnya nenangkap Bima. Dengan alasan bahwa Bima telah menyanggupkan diri sebagai korban untuk Prabu Dwaka.
”Di rumah ini segala sesuatunya telah disiapkan. Jika pimpinan perajurit mau menangkap Raden Bima dan Raden Bima melawan, maka akan terjadi pertempuran. Jika pertempuran terjadi di rumah ini maka semuanya yang ada bakal rusak dan hancur. Termasuk juga ubarampe sesaji yang telah dipersiapkan. Jika hal ini benar-benar terjadi, artinya para perajurit telah menghancurkan persiapan sesaji yang akan dipersembahkan kepada raja, termasuk calon korbannya yaitu Raden Bimasena. Jika pemimpin perajurit akan nekat memaksakan kehendak, aku sebagai lurah di wilayah ini akan menghadap raja dan menghaturkan bahwa calon sesaji yang telah dipersiapan dirusak oleh perajurit Ekacakra sendiri.”
Mendengar seruan Ibu Lurah yang lantang tersebut, pemimpin perajurit tanpa berucap sepatah kata pun membalikan kudanya bersama dengan pasukannya meninggalkan rumah Resi Hijrapa. Mereka takut jika tindakannya menangkap orang tinggi perkasa dianggap mengacaukan persiapan korban terbesar sepanjang tahun yang akan diadakan besok lusa.
Kabar kesanggupan Bima mau menjadi korban santapan menggantikan Rawan cepat tersebar di Desa Sendangkandayakan dan pertapaan Giripurwa. Mereka berdatangan di rumah Resi Hijrapa. Ketika ditemuinya ada Lurah Sagotra dan Rara Winihan, semakin mantaplah mereka bergabung.
Ketika tiba saatnya, hari Anggara Jenar yang jatuh pada bulan pertama pada setiap tahunnya, Resi Hijrapa telah siap dengan sesajinya. Rara Winihan berperan besar dalam pembuatan sesaji. Ia telah menutupi badan Bima dengan parutan kelapa muda yang dimasak bothok.
Pagi itu mereka membawa sesaji komplit meninggalkan Rumah Resi Hijrapa, menuju keraton Ekacakra. Selain Bima sendiri, yang mengiringi sesaji dari Giripurwa adalah : Harjuna, Rawan, Rara Winihan, Lurah Sagotra, Resi Hijrapa, warga Sendangkandayakan dan Giripurwa. Dengan keberadaan Bima diantara mereka, mereka tidak takut, karena mereka percaya dengan nama besar Pandhawa Lima dan sebagian dari mereka telah melihat kesaktian Bima waktu menolong para pengungsi.
Sesampainya di balairung keraton Ekacakra, sesaji dari Giripuwa yang berupa Bima dibumbu bothok menarik perhatian banyak orang termasuk Sang Prabu Dwaka, karena sosok Bima yang tinggi besar sepadan dengan Prabu Dwaka.
Setelah segalanya siap, upacara sesaji dimulai dengan pemukulan gong beri tiga kali. Selesai gaung gong yang ketiga, mereka mulai melakukan pembakaran aneka macam daging dan ikan secara serentak. Di tengah-tengah membumbungnya asap bakaran, Prabu Baka berjalan keliling sebelum mendekati korban mausia yaitu Bima Bothok. Baru setalah langkahnya tertuju kepada Bima Bothok, perutnya mulai keroncongan, dan air liurnya mengumpul di ujung lidahnya.
Herjaka HS (Artikel ini diambil http://wayangprabu.com/page/10/?archives-list=1).