Malam Pertama
Ki Sagotra dan Rara Winihan tak pernah berkedhip memandangi Harjuna meninggalkan halaman rumah. Ketika Harjuna tidak kelihatan lagi, kedua pasang mata tersebut saling bertatap.
“Kakang aku mencintaimu”
“Winihan”
Cukup hanya menyebut namanya saja, setelah itu Sagotra tak kuasa meneruskan kata-katanya. Kebahagiaannya melebihi keindahan kata-kata. Pelukan isterinya yang pasrah, membuat Lurah muda itu terharu. Terharu karena dirinya mulai dipercaya oleh isterinya untuk menjadi pelindung keluarga yang menentramkan.
Senja mulai merambat malam. Bulan separo tanggal telah menggelantung di langit untuk menemani bintang-bintang yang bertaburan menghias langit. Lampu-lampu minyak dan lentera mulai dinyalakan. Baik di dalam rumah maupun di sudut halaman, untuk menyisihkan pekatnya malam.
Di rumah induk bagian tengah sebelah kanan, ada kamar yang disebutnya dengan kamar pengantin. Namun sejak diset pertama kali yaitu pada waktu Sagotra dan Winihan diresmikan sebagai suami isteri hingga sekarang kamar tersebut belum pernah dipakai. Namun walaupun begitu, kamar tersebut selalu harum semerbak, rapi dan bersih. Jika bunga yang ada mulai layu, akan segera diganti dengan yang baru. Setiap hari Sagotra memasuki kamar tersebut dengan tujuan untuk sebuah harapan. Harapan yang selalu dihidupi dan diperbaharui setiap hari. Harapan sebuah kepastian, bahwa pada saatnya nanti ia dan isterinya dapat mengfungsikan kamar pengantin tersebut sebagai mana mestinya.
Malam itu, hari yang ke 369 sejak pernikahannya, Sagotra dan Winihan beriringan memasuki kamar pengantin.
di kamar pengantin. karya Herjaka HS, Januari 2010. Gambar ini diambil dari
http://www.tembi.org/wayang/20100115.htm
bagaikan anak kidang
haus akan telaga.
entah berapa waktu dapat bertahan
jikalau tak mendapatkan
seteguk pelepas dahaga
beruntunglah ketika kekeringan
belum benar-benar kering
air mata masih menetes
dan cinta pun masih tersisa
langit bermurah hati
mengguyur segar lingga dan yoni
dewa dan dewi kesuburan berdendang suka
membaca mantra
dhuh Gusti …
nikmat-Mu adalah abadi
mengabadikan
nikmat kami
malam ini
malam pertama
“Rara Winihan, apa yang engkau inginkan?
“Anak laki-laki yang gagah dan sakti Kakang?
“Mengapa tidak menginginkan anak perempuan yang cantik?
“Siapakah nanti yang akan melindungi?”
“Tentu saja aku “
“Sungguh Kakang? Jika yang mengancam Prabu Dwaka?”
“E .. e… e….
Mendengar nama Prabu Dwaka atau lebih sering disebut Prabu Baka, Ki Lurah desa Sagotra tersebut mendadak kelu lidah. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Badannya menjadi semakin dingin ketika angin pagi yang membawa embun mulai membasahi genteng dan dinding rumah lurah desa Kabayakan. Sagotra menyesali, kenaapa pada saat-saat yang sangat membahagiakan ini tiba-tiba saja pembicaraan mereka meski sampai kepada nama Prabu Baka? Tidak saja bagi Sagotra, nama Prabu Baka adalah nama yang mampu membuat banyak orang ketakutan. Terutama bagi rakyat di seluruh wilyah negara Ekacakra, termasuk desa Kabayakan.
Prabu Dwaka atau Baka adalah raja yang berkuasa di negara Manahilan atau Ekacakra. Ia bertulang besar, berkekuatan seribu gajah dan saktimandraguna. Namun sayang kedahsyatannya sang raja tidak diperuntukan untuk mengayomi kawula, tetapi justru untuk menancapkan sifat arogansi yang tidak manusiawi demi untuk memuaskan nafsu pribadinya. Perlu diketahui bahwa Prabu Baka mempunyai kebiasaan yang mengerikan dan sekaligus menjijikkan. yaitu, setiap bulan tua ia meminta disediakan satu orang manusia untuk disantap. Kebiasaan itulah yang telah menebar rasa takut dan kengerian yang berlebihan bagi setiap rakyatnya. Namun karena dia raja yang berkuasa, kuat dan sakti, tidak ada yang berani menentangnya, termasuk juga Ki Lurah Sagotra.
Ketidak beranian Lurah Sagotra untuk melindungi warganya itulah yang menyebabkan Rara Winihan dan warga Desa Kabayakan kecewa. Padahal sebelum Sagotra dipilih menjadi Lurah, ia dengan lantang berjanji akan melindungi serta membela warganya dari berbagai ancaman bahaya, baik dari dalam maupun dari luar negara.
Namun setelah dipilih dan diangkat oleh penduduk menjadi lurah desa Kabayakan, Sagotra tidak menepati janji. Lurah Muda tersebut tidak berani melindungi salah satu warganya yang diambil paksa oleh utusan Prabu Baka untuk dijadikan korban. Yang lebih memukul warga kabayakan adalah bahwa pengambilan paksa tersebut dilakukan pada saat warga Desa Kabayakan sedang punya gawe, yaitu malam midodareni perkawinannya Lurah Muda Sagotra dengan Rara Winihan. Atas kejadian tersebut, warga Desa Kabayakan sangat kecewa dengan sikap Lurah Sagotra yang membiarkan salah satu warganya ditangkap diikat dan dimasukan ke dalam gerobag, untuk kemudian dibawa ke Ekacakra..
Sepeninggal utusan Prabu Baka, desa Kabayakan berkabung Rangkaian Upacara Perkawinan di rumah Rara Winihan tetap berlangsung, tetapi tidak ada suka cita di sana.. Rara Winihan yang mejadi pusat dan pelaku utama upacara perkawinan justru menunjukan wajah yang gelap dan sedih. Dibanding Sagotra, Rara Winihan lebih dapat merasakan jeritan ketakutan warga Kabayakan. Ia sangat kecewa mempunyai seorang Lurah yang tidak dapat dijadikan pelinndung warganya. Apalagi Lurah tersebut sebentar lagi akan menjadi suaminya. Lalu bagaimana jika nantinya dirinya yang terancam? Apakah ia berani melindungi? Aku tidak mau mempunyai seorang suami penakut, tidak berani melindungi isterinya dan tidak peduli dengan rakyatnya.
Oleh karena kekecewaan Rara Winihan atas diri Lurah Sagotra, ia berjanji dalam hati, tidak mau menjadi isteri Sagotra jika Sagotra tidak dapat membuktikan bahwa ia adalah pelindung bagi isterinya dan rakyatnya. Walaupun waktu itu, Rara Winihan tetap diresmikan menjadi Isteri Sagotra, lebih dari setahun ia tidak mau melayani Sagotra sebagai suami. Beruntunglah pada hari ke 369 sejak ia menikah dan sejak tragedi di Kabayakan, pertolongan datang.
Herjaka HS (Artikel ini diambil dari http://www.tembi.org/wayang/20100115.htm).